My Ma’had My Adventure


karya: Iis Dahlia

“Kata orang proses tidak akan menghianati hasil, itulah salah satu jimat hidup yang mampu mengobarkan semangat perjalanan dan perjuangan.”

“Tuk, Tuk, Tuk,” suara pulpen yang terhentak di meja belajar terdengar ke seluruh pojok ruangan. siang itu Rara terduduk dihadapan tumpukan buku (buku novel tentunya hehehe) yang memenuhi meja dengan kotak pensil bermotif bunga rose merah di sampingnya, kemudian ia melirik ke sisi lain sambil terus memainkan pulpennya, ia melihat jam dinding yang terpajang di samping jendela kamar, ternyata jarum jam telah mengarah ke angka 1, menunjukan waktu siang menjelang sore. Rara mulai menghilangkan ekspektasinya yang panjang, dan segera kembali ke realita yang cukup membosankan. Rara beranjak dari duduknya, “ahh” keluhnya yang panjang sambil melemparkan tubuhnya berbaring di tempat tidur. Lagi-lagi ia bingung hendak melakukan apa? Padahal, tahun lalu ia cukup sibuk dengan kegiatan kampus, terutama di asrama kampus tempat tinggalnya, apalagi sebelum pandemi terjadi. Rara mulai tenggelam lagi dalam lamunannya…

(Before pandemic…..)

“teeet, teeet, teeet” suara ribut memecahkan kesunyian malam yang disambut fajar, mampu membangunkan semua penghuni gedung, ya! apalagi kalau bukan bunyi bel yang ditekan cukup lama oleh ukhti dina, ukhty keamanan asrama putri. Rara yang masih bergelut dengan mimpi pun, terusik dengan suara tersebut. Ditambah suara langkah kaki jeni, teman sekamarnya yang sibuk menuruni anak tangga ranjang bertingkat, tepat diatas tempat tidur Rara, serta kedua temannya yang sudah lebih dulu berlari menuju kamar mandi. “Ra, Ra ayok buruan bangun ambil air wudhu” ujar jeni sambil mengguncangkan tubuh rara, “hmmm” jawab Rara yang masih menggenggam selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. “cepetan nanti ukhti nya naik loh” balas jeni dengan suara sedikit meninggi, “iya, iya” timbal Rara. Dengan perasan malas Rara mulai melipat selimutnya dan kemudian beranjak dari tempat tidurnya, Rara langsung memakai jilbab coklat miliknya yang terletak di belakang pintu, dan ia segera melangkahkan kaki menyusul teman-temannya menuju kamar mandi dengan membawa ember sabun di tangan kirinya.

Lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibaca ukhty dela di lantai dasar, sudah cukup lama terdengar sampai ke lantai paling atas, tentu saja para penghuni lantai tiga pun mendengarnya, termasuk Rara. Rara yang masih berdiri sambil menumpangkan tubuhnya dengan santai ke dinding depan kamar mandi, masih menunggu untuk bergantian menggunakan kamar mandi berjejer. Sesekali ia mendongakkan kepala ke lantai dasar untuk melihat aktivitas di bawah sana, dimana lantunan ayat suci Al-Qur’an tadi Sudah terhenti karena terdengarnya kumandang adzan subuh. Mahasantri putri sudah berbondong-bondong memenuhi barisan untuk mengikuti shalat berjamaah.

“teeet, teeet, teeet,” bel tanda shalat jama’ah dimulai telah dibunyikan, sedangkan Rara masih sibuk dengan aktivitasnya, “yah telat gimana nih, shalat di kamar aja kali ya” dengan nada cemasnya ia mulai masuk ke dalam kamarnya dan melaksanakan shalat subuh di sana.

Suara dzikir di lantai bawah yang terdengar sampai lantai tiga terus bersahutan, sedangkan ukhti Dina sudah berdiri di samping tangga lantai dasar, dengan posisi siap menyambut mahasantri yang datang terlambat. “aduh uty dina sudah ada di situ lagi, apa aku lewat tangga depan aja ya, kalau lewat tangga belakang aku takut lagi sama uty dina” batin Rara “ahhh, tapi kalau gitu aku curang dong terus kalau ketahuan nanti hukumannya malah di tambah lagi”. Begitulah gejolak hati dan pikiran Rara yang tak lagi sinkron.

“Kenapa kalian Telat?” tanya ukhti dina kepada beberapa mahasantri yang berbaris tepat di hadapannya. Rara juga termasuk salah satu dari mahasantri itu. Suasana yang cukup tegang membuat mereka menutup rapat mulutnya tanpa sedikitpun terbuka. Rara yang berada di situasi tersebut mulai resah, ia hanya menatap lantai dimana ia berdiri. “Kalian Mahasantri baru tapi sudah telat” ya mereka memang baru satu minggu tinggal di Ma’had, “kalian mau main-main di sini??, kalau ia lebih baik kalian gak usah tinggal di Ma’had, kasian orang tua kalian yang sudah menitipkan kalian disini dengan harapan yang mulia, tapi kalian malah seperti ini” ujar Ukhti Dina “kalau kalian memang serius disini jangan ulangi lagi”, “Baik uty” jawab serempak mahasantri sambil tetap menundukan pandangan mereka. Terutama Rara yang matanya mulai berkaca, walau tidak sampai menumpahkan buliran bening yang menumpuk di pelupuk matanya, namun ia tetap merasa kecewa terhadap kesalahannya“sekarang kembali ke Halaqah masing-masing” seru Ukhti Dina. Mereka segera membubarkan barisan dan menuju halaqah masing-masing. Dan para mahasantri mulai sibuk dengan aktivitas halaqahnya masing-masing. Setelah kejadian itu ternyata masih saja ada mahasantri yang telat setiap paginya tapi tidak termasuk Rara, Rara termasuk anak yang manja dan di sayang oleh kedua orang tuanya, Rara tidak pernah membantah orang tuanya termasuk permintaannya untuk tinggal di Ma’had, jadi ketika mendengar kata orangtua ia langsung tersadar dan tidak mengulangi perbuatan yang sama.

“hurry up, hurry up, second floor, third floor, Fourth floor, go down now!” teriak Ukhti semester 3 dari lantai dasar, ukhti yang tidak diketahui namanya, karena memang mahasantri baru belum terlalu paham dengan mahasantri lama, mereka hanya memanggilnya dengan sebutan ukhti. “sister hurry up, go down now”, teriak ukhti senakin keras “yes uty” jawab beberapa mahasantri dari lantai atas. Rara dan jeni yang telah siap dengan pakain olahraga dan buku bahasa inggris yang dibawanya, sementara reika dan dwi yang menyusul di belakang sudah menuruni anak tangga menuju lantai dasar, dan membersamai mahasantri lainnya menuju halaman depan asrama putra.

Hari ini adalah hari sabtu, hari sabtu merupakan hari yang cukup menegangkan bagi sebagian mahasantri “siapa ya, hari ini yang kena panggil” bisik Jeni disamping Rara “gak tau, semoga aja jangan halaqah kita” jawab Rara dengan suara pelan. “iya, aamiin” timbal Reika dan dwi serempak, dengan suara pelan tentunya.

Halaman asrama putra telah dipenuhi mahasantri putra dan putri, mereka berbaris rapih sesuai dengan halaqahnya masing-masing. Begitu juga Rara, Jeni dwi, dan Reika serta enam teman lainnya yang tergabung ke dalam member halaqah ukhti Seira.

“assalamualaikum wr.wb.” ucap akhi dan ukhti yang mulai membuka kegiatan pagi ini, “waalaikumussalam wr.wb.” jawab seluruh mahasantri. “good morning guys” “good morning”. Kegiatan hari ini mengalir seperti biasanya, ada menghafal conversation, senam pagi dll. Namun sebelum itu biasanya akan ada mahkamah bahasa, mahkamah bahasa adalah mengumumkan siapa saja pelanggar bahasa, atau orang-orang yang paling sering menggunakan bahasa indonesia atau bahasa daerah, maka mereka itulah yang akan diberi hukuman. Di Ma’had memang diwajibkan menggunakan bahasa arab atau inggris “No english, no arabic, no service” itulah slogan yang sering digunakan oleh setiap jajaran kepengurusan Ma’had Al-Jami’ah yang berlaku bagi seluruh mahasantri.

Member halaqah ukhty Seira bukanlah orang-orang yang mahir dalam berbahasa asing. Termasuk juga Rara, Seperti temannya yang lain Rara juga sering menggunakan bahasa tubuh saat berkomunikasi dengan teman halaqohnya, terutama ketika ada ukhti mu’alimah yang melintas di depan kamar mereka.

“baiklah pelanggar bahasa pada minggu ini jatuh kepada halaqah…” seperti biasanya MC tidak langsung menyebutkan nama perorangan tapi akan disebutkan nama halaqah terlebih dahulu, sehingga membuat para mahasantri semakin tegang. “halaqah akhi Dimas, ukhti Neira dan ukhty Seira” lanjut MC. “whatss” batin Rara, kemudian ia melirik teman-teman satu halaqahnya yang berbaris dibelakangnya. Dwi dan reika terlihat tegang, jeni menggenggam tangannya dengan erat, seperti orang yang sedang berdo’a agar buakan namanya yang disebutkan, semenatara beberapa teman yang lain juga terlihat simpang siur dengan pemikiran masing-masing. “deg, deg, deg” detak jantung Rara yang semakin kuat, membuat suasana jadi semakin tegang, namun Rara yang mampu mengontrol emosi dengan baik segera menepis ketakutannya dan mulai mendengarkan kembali apa yang dikatakan MC.

“…selanjutnya Dwi dari Halaqah ukhti Seira”. Seketika pandangan Rara menuju dwi, yang terlihat cukup kaget namun tetap berdiri dan berjalan dengan santainya menuju barisan dua orang yang namanya dipanggil lebih dulu, “yah memang kalau dipikir Dwi bukanlah orang yang pemalu dan Dwi merupakan orang yang paling sering berbahasa daerah atau indonesia wajar dia kena jasus ”. Rara yang awalnya sedikit iba langsung tertawa heran dengan kesantaian Dwi.

“cie dwi pakai baju kebangsaan, bakalan bosen nih seminggu liat baju itu” ledek Reika ketika sampai di kamar “ihh keren tau, liat nih baju nya bagus” jawab Dwi sambil menarik ujung baju berwarna hijau dan berlengan pendek yang dipakainya, “bilang aja you sirik” lanjut dwi dengan wajah tidak tahu malunya “diem ah kalian, giliran di kamar aja teriak-teriak, pake bahasa indonesia lagi” celetuk Rara dengan nada bercanda.”lah yang ngomong juga sama aja” sahut jeni sambil memandang Rara. Lalu seketika mereka berempat tertawa bersama. Begitulah suasana kamar yang cukup bising siang itu, dipenuhi dengan suara tawa keempatnya. Karena menurut mereka kamar adalah tempat yang paling aman dan bebas berbahasa selagi tidak ada yang dengar, kalau tidak bisa-bisa kena jasus satu kamar.

Setelah shalat magrib dan serangkai kegiatannya selesai, seperti biasa ukhti dina segera berdiri di hadapan para mahasantri yang terduduk di mushola asrama putri, “I have announcement for you and I’m sorry speak indonesia, jadi minggu depan kita akan mengadakan kegiatan pekan bahasa yang harus diikuti oleh seluruh mahasantri, dan untuk seragam diharuskan seluruh mahasantri putri menggunakan baju putih, rok hitam dan jilbab hitam. oke i think enough about my speak, there is question?” tanya ukhty dina, “there is no uty” jawab seluruh mahasantri. “Oke back to your halaqah, shollu ala nabi Muhammad” seru ukhti dina kepada seluruh mahasantri. “sollu alaih” jawab para mahasantri yang langsung menuju halaqah masing-masing.

“Ra, minta jarum dong buat jilbab” pinta Dwi, “ambil di lemari” jawab Rara singkat yang duduk di kasur milik Dwi dengan jarinya yang terus menari di atas benda pipih di tangannya. “yah si Rara sibuk banget sih, lagi chatan ya?, sama siapa sih liat dong” ujar Jeni heboh sambil berjalan mendekat ke arah Rara “wah Rara, sama siapa Ra? Sama astra ya?” timbal reika yang tetap berdiri di depan kaca lemari sambil terus meniup jilbabnya agar terlihat rapi tentunya. “ah, gak kok cuman lagi baca webtoon juga” jawab Rara sambil menyembunyikan handphone nya agar tidak terlihat oleh Jeni “iih sudahlah ayo turun ke bawah sebentar lagi dimulai tuh kelasnya” ajak Rara untuk mengalihkan perhatian teman-temannya “oh iya juga, ayok buruanlah turun” sahut Dwi yang mulai sadar bahwa lima menit lagi kelas akan dimulai. kemudian ke-empat sejoli itu segera bergegas menuju lantai dasar.

Seperti hari-hari sebelumnya mahasantri putri sudah duduk di tempatnya, dengan seragam hitam putih yang membuat barisan terlihat rapi. Bedanya hari ini adalah kelas besar, jadi antara mahasantri putra dan mahasantri putri menggunakan kelas yang sama. “Ra, ra tau gak katanya kelas ini ustadz nya galak loh” bisik Dwi “dan katanya juga ustad ini tuh lulusan luar negeri tau” sambung jeni, “Eh tapi katanya ustadznya juga tampan looh” sahur Reika dengan nada sok imutnya. Belum Rara merespon teman-temannya sudah datang pria berseragam hitam putih dengan wajah tampan yang mampu menyihir mahasantri putri yang memandangnya. Ia berjalan ke arah mahasantri “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” salam sang ustaz,”waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh” jawab mahasantri serempak, “sekarang saya minta barisan mahasantri Putri di bagi dua kelompok dengan mengosongkan barisan tengah” seru ustaz Hanif dengan nada datarnya, membuat mahasantri tambah yakin dengan gosip bahwa beliau adalah ustaz killer. Segera mahasantri putri bergegas mengosongkan barisan Tengah, Rara yang awalnya duduk di barisan kedua dari tengah mulai sedikit tegang dengan suasana ini. Terutama dengan posisi barunya. “sekarang kalian dengarkan audio yang saya putar” audio dengan bahasa inggris terus terdengar bersahutan. Membuat sebagian mahasantri mulai bosan dan tidak fokus apalagi mereka yang tidak menyukai bahasa asing. Setelah audio selesai diputar ustadz hanif bangkit dari tempat duduknya, dan ia melangkahkan kaki panjang nya ke barisan mahasantri putri, “wah gimana nih ustadznya jalan ke sini lagi” batin Rara sambil mengarahkan pandangannya ke depan. “aduh kayaknya ustadznya beneran ke arah sini, mati aku gak dengerin audionya dengan baik” pekik Rara dalam hati, “kamu!, jelaskan tentang apa audio tadi”. Seru ustadz hanif sambil menunjuk salah satu mahasantri putri. Rara tersentak dengan keberadaan ustadz hanif di sampingnya. “alhamdulilah bukan aku yang diminta jawab” batin Rara sambil bernapas lega, Rara bersyukur yang ditunjuk ustadz hanif adalah Salsa, teman satu Halaqohnya. Segera Salsa menjelaskan tentang audio tersebut. “oke bagus” puji ustadz hanif dengan tetap mempertahankan wajah datarnya. Salsa memang anak yang paling pandai di antara teman halaqohnya. Lalu ustaz Hanif langsung berjalan menghampiri mahasantri putra dan menanyakan hal yang sama. Begitulah situasi menegangkan dan terasa panjang dari materi yang lain ini berlalu.

Siang berganti malam, materi demi materi telah dilewati para mahasantri ma’had Al-Jami’ah. Sekarang mereka sudah duduk dengan barisan semula, “hey, katanya sekarang materi terakhir ya?” bisik Rara pada Salsa yang tengah sibuk dengan buku dan pulpen di tangannya. “iya kayaknya” jawabnya singkat dan kembali sibuk lagi dengan aktivitasnya. Rara sudah terbiasa dengan jawaban Salsa, Karena menurut Rara mendapat respon dari salsa saja sudah merupakan anugrah, karena Salsa merupakan anak yang cuek dan pendiam.

“Assalamualaikum adik-adik, how are you tonight?” tanya ustadzah Raina, pemantik malam ini. “fine uty” Jawab seluruh mahasantri. Kelas besar berjalan seperti biasanya, ustadzah Raina menjelaskan materi dengan santai dan cukup menyenangkan tentu saja bagi Salsa. Lain dengan Rara yang mulai bingung dengan materi ustadzah Raina. “oke I think enough for my speak, now I want to ask you” seketika Rara langsung mengarahkan pandangannya ke depan. Ustadzah Raina mulai memandangi mahasantri satu persatu “how fell you about this agenda?, oke I pick you” seru ustadzah dina sambil menunjuk ke arah mahasantri putri, “yang pakai kacamata” jelas ustadzah dina. Rara segera mengalihkan pandangannya ke belakang berharap bukan dia yang dimaksud. “iya kamu, yang lagi nengok ke belakang” seru ustadzah Raina, “dag, dig, dug” Detak jantung Rara yang bersahutan membuatnya enggan merespon permintaan ustadzah Raina. “hah, gimana nih aku yang ditunjuk, jawab apa nih, apa lagi tadi pertanyaannya” resah Rara, sambil memandang satu persatu teman sekamarnya dengan tatapan berharap diberi tahu “semangat Rara” Respon yang ketiga temannya sambil mengangkat tangan yang dikepal. Karena mereka juga tidak menyimak pertanyaan ustadzah Raina “apa yang kamu rasakan mengenai agenda ini, kurang lebihnya seperti itu” ujar Salsa yang hanya terdengar oleh Rara dan teman halaqohnya. “what’s your name?” tanya ustadzah Raina. “emm…Rara” gugup Rara yang berada di hadapan seluruh mahasantri yang memandang ke arahnya. “aduh gimana nih, mana ada astra juga lagi, dia liat aku gak yah?, ihh malu banget, jawab apa ya?“ gejolak hati Rara menahan malu “nevermind mix bahasa indonesia” ujar ustadzah Raina “emmm, I fell…. emmm I’m so happy about this agenda and…” Rara yang berpikir keras mulai kehabisan kata-kata. “and…? no problem mix bahasa indonesia” ujar ustadzah Raina dengan memanjangkan kata and yang terakhir diucap Rara. “and.. i think this agenda is… emm… banyak manfaatnya bagi all of mahasantri” jawab rara terbata-bata “oke thanks Rara” ustadzah Raina mempersilahkan Rara duduk ke tempatnya semula.

Usai kelas seluruh mahasantri kembali ke kamarnya masing-masing “Ra, tangan kamu dingin banget” suara jeni memecahkan lamunan Rara “ya?” “udah nanti kita belajar sama Salsa, terus ke uty Seira juga” ujar Jeni sambil menepuk lembut bahu Rara, seolah tahu apa yang dipikirkan sahabatnya. “iya” respon singkat Rara. Walaupun begitu Rara sangat sedih dengan kemampuannya. Ia merasa insecure dan putus asa “ting, ting, ting” pesan berantai mengalihkan perhatian Rara “kamu hebat, kamu terlihat cantik saat didepan, tetap semangat” dengan emoticon senyum, pesan tanpa nama di handphone Rara memang membuatnya cukup tenang, tapi belum bisa mengembalikan semangat nya “aku gak bisa apa-apa, kasian banget ya orang tuaku, apa aku berhenti kuliah dan keluar dari ma’had aja ya?, dari pada disini ngabisin uang orang tua tapi gak bisa apa-apa, aku juga gak ada bakat berbahasa asing” keluh Rara kepada teman-temannya. “jangan gitu dong Ra, kamu pasti bisa Ra, aku yakin kamu pasti bisa” ujar Dwi. “iya Ra, kamu pasti bisa, kami pasti selalu ada buat kamu Ra, so jangan sedih, kami juga belum tentu bisa kalau di suruh maju” sambung Reika “iya Ra, ayo semangat!, kita belajar bersama dan jangan kecewakan orang tua kita Ra, ini namanya Proses, akan ada hasil yang menunggu kita berproses, semangat Rara” nasihat jeni dan kedua temannya membuat Rara mengurungkan egonya untuk berhenti belajar.
Kegiatan pekan bahasa telah berlalu, mahasantri kembali dengan aktivitas semula. Tutorial oleh mudir Ma’had Al-Jami’ah sudah berlangsung cukup lama.“kita harus banyak bersyukur kepada Allah swt. kita diberi begitu banyak nikmat dan keistimewaan, kita diberi banyak kemampuan dan bakat, tinggal bagaimana kita mau memanfaatkannya, di ibarat kan bakat itu seperti air keran, ia akan terus mengalir keluar apabila kita tidak menutupnya. Jika kita membuka penutup keran sampai batas maksimal maka air yang keluar dari keran akan banyak, begitu juga jika kita hanya membuka sekedarnya maka air yang keluar hanya sekedarnya saja, jadi mahasantri sekalian tetap semangat dan terus berusaha menggali bakat dan kemampuan, karena semua itu butuh usaha, dan ingat kata keramat bahwa proses tidak akan menghianati hasil” begitulah closing statement dari Ustadz M.Sholihin.
Fatwa ustadz Sholihin bagaikan tamparan keras namun mampu mengembalikan semangat Rara, Rara sudah meneguhkan hatinya untuk belajar lebih giat lagi, terutama dalam pelajaran bahasa asing, ia bertekad bahwa tidak akan putus asa dan Insecure lagi serta akan berusaha membuka keran dengan maksimal agar orang tuanya bangga dan tidak menyesal menempatkannya di Ma’had ini. Dan hal pertama yang harus dilakukan adalah mengucapkan terimakasih kepada Salsa, telah membantunya waktu itu. (pekan bahasa). Dan mengikuti semua pelajaran di Ma’had dengan baik.

“I sing a song, I’m singing a song, I have sung a song, I have been singing a song, I sang a song, I was singing a song, I had sung a song, I have been singing a song, (reff) I will sing a song, I will be singing a song, I will have sung a song, I will have been singing a song, I would sing a song, I would be singing a song, I would have sung a song, I would have been singing a song oh my tenses… (key song tinggal kenangan)” suara nyanyian member halaqah ukhti Seira di belakang gedung asrama Puteri terdengar sangat khidmat. Terlihat beberapa orang yang berlalu lalang di jalan dekat gedung sempat melirik mereka. Rara tidak risau dengan pandangan mereka. Ia merasa senang dan takjub. Serta ia bersyukur menjadi member halaqah ukhti seira. Apalagi ukhti Seira memang pandai dalam bahasa asing terutama bahasa inggris, ia mampu membuat tenses menjadi sebuah lagu yang utuh dengan harmonisasi yang baik. “oke guys, I think Enough, my last word, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” ukhti seira menutup halaqah dan mempersilahkan member halaqohnya untuk kembali ke kamar masing-masing, karena matahari sudah bersembunyi di balik mega merah yang mengharuskan mereka mengakhiri halaqah sore itu.

(Back again…..)

“Rara, Ra,” teriakan dari arah dapur menyadarkan Rara bahwa jarum jam telah menuju angka empat “iya mah” timbal Rara sambil berjalan menuju arah suara “sini bantu mamah potong sayuran bentar, abis itu baru mandi” Pinta mama Rara sambil memberikan satu baskom tahu putih, “baik mah” dengan senyum cerianya Rara memotong tahu yang diberikan mama, ia masih teringat moment-moment menyenangkan dengan teman-teman halaqohnya. Walaupun pandemic masih ada Rara tetap bahagia karena ia masih termasuk mahasantri Ma’had Al-Jami’ah, apalagi semester ini ia tetap menjadi bagian dari halaqah ukhti Seira. Walaupun dengan teman yang berbeda dan keadaan yang mengharuskan kegiatan Ma’had dilakukan secara Online.

“stay home, stay healthy, keep smile and keep spirit”